Cyberlaw adalah hukum yang digunakan di dunia cyber (dunia
maya) yang umumnya diasosiasikan dengan internet. Cyberlaw merupakan aspek
hukum yang ruang lingkupnya meliputi setiap aspek yang berhubungan dengan orang
perorangan atau subyek hukum yang menggunakan dan memanfaatkan teknologi
internet yang dimulai pada saat mulai online dan memasuki dunia cyber atau
maya.
Cyberlaw sendiri merupakan istilah yang berasal dari Cyberspace Law. Cyberlaw akan memainkan peranannya dalam dunia masa depan, karena nyaris tidak ada lagi segi kehidupan yang tidak tersentuh oleh keajaiban teknologi dewasa ini dimana kita perlu sebuah perangkat aturan main didalamnya (virtual world)..
Cyberlaw sendiri merupakan istilah yang berasal dari Cyberspace Law. Cyberlaw akan memainkan peranannya dalam dunia masa depan, karena nyaris tidak ada lagi segi kehidupan yang tidak tersentuh oleh keajaiban teknologi dewasa ini dimana kita perlu sebuah perangkat aturan main didalamnya (virtual world)..
Cyberlaw sangat dibutuhkan, kaitannya dengan upaya pencegahan tindak pidana, ataupun penanganan tindak pidana. Cyber law akan menjadi dasar hukum dalam proses penegakan hukum terhadap kejahatan-kejahatan dengan sarana elektronik dan komputer, termasuk kejahatan pencucian uang dan kejahatan terorisme.
Untuk hukum yang terkait dengan masalah dunia cyber, di
Indonesia saat ini sudah ada Rancangan Undang-Undang (RUU) yang berhubungan
dengan dunia cyber, yaitu RUU Informasi dan Transaksi Elektronik (RUU ITE) yang
telah di sahkan menjadi undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang informasi dan
transaksi elektronik. Dan telah ditetapkan menjadi undang-undang pada Rapat
Paripurna Dewan tanggal 25 Maret 2008.
UU ITE ini terdiri dari 13 Bab dan 54 Pasal dengan cakupan
materi antara lain:
- Pengakuan informasi dan atau dokumen elektronik sebagai alat bukti hukum yang sah.
- Pengakuan atas tanda tangan elektronik.
- Penyelenggaraan sertfikasi elektronik dan sistem elektronik.
- Hak kekayaan intelektual dan perlindungan hak pribadi.
- Perbuatan yang dilarang serta ketentuan pidananya.
Sejak dikeluarkannya UU ITE ini, maka segala aktivitas
didalamnya diatur dalam undang-undang tersebut. Cyberlaw ini sudah terlebih
dahulu diterapkan di Negara seperti Amerika Serikat, Eropa, Indonesia,
Australia, dan lain-lain.
B. Ruang Lingkup Cyberlaw
Jonathan Rosenoer dalam Cyber Law – The Law Of Internet
menyebutkan ruang lingkup cyber law :
- Hak Cipta (Copy Right)
- Hak Merk (Trademark)
- Pencemaran nama baik (Defamation)
- Fitnah, Penistaan, Penghinaan (Hate Speech)
- Serangan terhadap fasilitas komputer (Hacking, Viruses, Illegal Access)
- Pengaturan sumber daya internet seperti IP-Address, domain name.
- Kenyamanan Individu (Privacy)
- Prinsip kehati-hatian (Duty care)
- Tindakan kriminal biasa yang menggunakan TI sebagai alat Isu prosedural seperti yuridiksi, pembuktian, penyelidikan dan lain-lain.
- Kontrak / transaksi elektronik dan tanda tangan digital.
- Perangkat Hukum Cyber Law.
- Pornografi.
- Pencurian melalui Internet.
- Perlindungan Konsumen.
- Pemanfaatan internet dalam aktivitas keseharian seperti e-commerce, e-government, e-education. [1]
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”). Sama halnya seperti Convention on Cybercrimes, UU ITE juga tidak memberikan definisi mengenai cybercrimes, tetapi membaginya menjadi beberapa pengelompokkan yang mengacu pada Convention on Cybercrimes.
1. Tindak pidana yang berhubungan dengan
aktivitas illegal, yaitu:
a. Distribusi atau penyebaran, transmisi, dapat
diaksesnya konten illegal, yang terdiri dari:
- kesusilaan (Pasal 27 ayat [1] UU ITE);
- perjudian (Pasal 27 ayat [2] UU ITE);
- penghinaan atau pencemaran nama baik (Pasal 27 ayat [3] UU ITE);
- pemerasan atau pengancaman (Pasal 27 ayat [4] UU ITE);
- berita bohong yang menyesatkan dan merugikan konsumen (Pasal 28 ayat [1] UU ITE);
- menimbulkan rasa kebencian berdasarkan SARA (Pasal 28 ayat [2] UU ITE);
- mengirimkan informasi yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi (Pasal 29 UU ITE);
b. Dengan cara apapun
melakukan akses illegal (Pasal 30 UU ITE);
c. Intersepsi illegal terhadap informasi atau dokumen
elektronik dan Sistem Elektronik (Pasal 31 UU ITE);
2. Tindakpidana yang berhubungandengangangguan (interferensi), yaitu:
2. Tindakpidana yang berhubungandengangangguan (interferensi), yaitu:
a. Gangguan terhadap Informasi atau Dokumen Elektronik
(data interference – Pasal 32 UU ITE);
b. Gangguan terhadap Sistem Elektronik (system
interference – Pasal 33 UU ITE);
3. Tindak pidana memfasilitasi perbuatan yang dilarang
(Pasal 34 UU ITE);
4. Tindak pidana pemalsuan informasi atau dokumen
elektronik (Pasal 35 UU ITE);
5. Tindak pidana tambahan (accessoir Pasal 36
UU ITE); dan
6. Perberatan-perberatan terhadap ancaman pidana (Pasal
52 UU ITE).
Pengaturan Tindak Pidana Siber Formil di Indonesia
Selain mengatur tindak pidana siber materil, UU ITE mengatur
tindak pidana siber formil, khususnya dalam bidang penyidikan. Pasal 42 UU ITE
mengatur bahwa penyidikan terhadap tindak pidana dalam UU ITE dilakukan
berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (“KUHAP”) dan ketentuan dalam UU ITE. Artinya, ketentuan penyidikan
dalam KUHAP tetap berlaku sepanjang tidak diatur lain dalam UU ITE. Kekhususan
UU ITE dalam penyidikan antara lain:
Penyidik yang menangani tindak pidana siber ialah dari
instansi Kepolisian Negara RI atau Kementerian Komunikasi dan Informatika;
Penyidikan dilakukan dengan memperhatikan perlindungan
terhadap privasi, kerahasiaan, kelancaran layanan publik, integritas data, atau
keutuhan data;
Penggeledahan dan atan penyitaan terhadap Sistem Elektronik
yang terkait dengan dugaan tindak pidana harus dilakukan atas izin ketua
pengadilan negeri setempat;
Dalam melakukan penggeledahan dan/atau penyitaan Sistem
Elektronik, penyidik wajib menjaga terpeliharanya kepentingan pelayanan umum.
Ketentuan penyidikan dalam UU ITE berlaku pula terhadap
penyidikan tindak pidana siber dalam arti luas. Sebagai contoh, dalam tindak
pidana perpajakan, sebelum dilakukan penggeledahan atau penyitaan terhadap
server bank, penyidik harus memperhatikan kelancaran layanan publik, dan
menjaga terpeliharanya kepentingan pelayanan umum sebagaimana diatur dalam UU
ITE. Apabila dengan mematikan server bank akan mengganggu pelayanan publik,
tindakan tersebut tidak boleh dilakukan.
Selain UU ITE, peraturan yang landasan dalam penanganan
kasus cyber crime di Indonesia ialah peraturan pelaksana UU ITE dan juga
peraturan teknis dalam penyidikan di masing-masing instansi penyidik. [2]
Sumber :
[1] Unuy Ciiunuy, 2012
http://unuy2911.blogspot.com/2012/10/pengertian-dan-ruang-lingkup-cyberlaw_21.html
[2] Josua Sitompul, S.H., IMM, 2013
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl5960/landasan-hukum-penanganan-cyber-crime-di-indonesia
0 komentar:
Posting Komentar
Berikanlah komentar Anda berupa tanggapan dan masukan disini.